By :elly dharmawanti
“berkutek berkunang/kejijek/mak
ngisang/peh peh peh”
*
ibu menyebutnya mantra penyembuh
luka,perempuan sederhana yang memanjakanku dengan sepenuh jiwa. aku dan
ketiga adikku terbiasa dengan dongeng-dongeng yang selalu di dendangkan ibu
setiap malamnya setiap harinya, sebelum
beranjak tidur kami akan duduk mengelilingi dan memijat- mijat kaki ibu yang selalu siap dengan dongeng pengantar
tidurnya, bahkan sering tampa sadar kami tertidur bahkan sebelum dongen selesai di kisahkan.
Ketika kanak-kanak, ibu adalah
duniaku, apapun yang ibu katakan kepadaku aku mempercainya sepenuh jiwa,tampa
keraguan tampa pikir-pikir, tampa pertimbangan, begitulah seharusnya
kanak-kanak di besarkan.
Begitu juga dengan mantra yang satu ini, ibu
selalu melapalkan nya ketika aku dan adik-adikku tertimpa sesuatu, mulai dari
jatuh hingga tergores benda tajam,yang menyebabkan kami menangis kesakitan, dengan
tulusnya ia akan melapalkan mantra sambil mengusap-usap pada sumber rasa sakit,
yang seperti biasa di ujung mantra mulut ibu akan pura-pura meludah dan berucap
peh..peh..peh..ajaibnya begitu kata peh terakhir keluar dari bibir ibu jerit
tangis dan air mata seketika berhenti, aku tidak merasa sakit lagi, tepatnya
aku mengabaikan rasa sakit dan tersenyum melihat kebeningan mata ibu.
Begitulah, bahkan hingga aku dewasa dan jauh
dari dekapan hangat ibu, aku tak pernah lupa dengan mantra penyembuh luka,
dengan cara ibu melapalkannya, dengan wajah teduhnya.
Terkadang ketika tak sengaja kakiku
terbentur sesuatu, atau tanganku tergores, aku dengan keyakinan penuh melapal
diam-diam mantra ibu, kemudian tersenyum dan tertawa melupakan rasa sakitnya
**
“maafkan aku, aku tak bermaksut dengan
sengaja menghianatimu, mengingkari janji yang sudah kita sepakati, mengingkari
mimpi-mimpi yang sudah kita susun selama ini,sungguh aku tak sengaja, aku juga
tidak yakin dengan yang aku lakukan, hanya semuanya begitu cepat, begitu
rumit untuk aku jelaskan” dengan
berlinang air mata anton bersimpuh di hadapannku, memohon maaf atas semua yang
terjadi ,tubuhnya lelah, kentara sekali dari sorot matanya betapa ia tertekan,
betapa penyesalan begitu menyiksanya, betapa ia merasa semuanya hancur tak
tersisa. Aku terpaku, tidak bergerak dari posisiku, dadaku sesak seperti hendak
meledak, tapi tak ada satu patah katapun yang sanggup keluar dari bibir ku yang
bergetar menahan sakit, amarah dan kebencian, air mata tak bisa lagi kutahan,
duniaku seketika hancur, Tidak penting
lagi apa yang ia katakan, tidak penting lagi seberapa dalam ia menyesal, tak
penting lagi seberapa banyak kata maaf yang ia ucapkan, tidak penting lagi
berapa lama waktu yang aku habiskan bersamanya, tidak penting lagi semua hal
indah yang pernah aku lalui dengannya, tidak penting lagi semua janji dan kata
setia,tidak penting lagi.
hatiku dipenuhi amarah dan kebencian,
seketika rasanya ingin aku membunuh lelaki itu, mencabik-cabik tubuhnya dengan
tanganku, tapi anehnya bukan itu yang aku lakukan, dengan kaki gemetar dan isak
tertahan, tampa bisa kucegah aku melepas tanganku dari genggaman, tubuhku
mundur menjauh dari hadapan anton.
***
Bermula dari Jum’at pagi yang
mendung, di luar kebiasaan, anton mengirim pesan pendek yang sepertinya penting
dan mendesak, ia ingin menemuiku sepulang kerja di suatu tempat yang sudah ia
tentukan. Meski sedikit heran dengan pesan yang ia kirimkan aku menyanggupinya,
tampa curiga, tampa prasangka.
Aku melewati hari itu seperti biasa, memeriksa
dan menyelesaikan beberapa dokumen, membuat catatan-catatan, ngobrol dan makan
siang dengan rekan-rekan, hingga waktu yang di janjikan, dengan langkah ringan
aku memasuki pintu mobil, menyalakan musik kesukaan dan tentu saja sesekali
turut berdendang.
****
Aku datang terlambat, jalanan macet,
begitu tiba di lokasi aku menemui anton di sebuah ruangan dalam sebuah restoran
yang asri dan menyejukkan, meski rasa heranku tak bisa kututupi lagi,
melihat ini diluar kebiasaan, aku
mengayunkan langkah. Ia ada disitu, duduk terpaku, tubuhnya lunglai dan kusut
masai, aku seperti tidak mengenal lelaki itu, lelaki yang sudah mengisi hidupku
dua tahun terakhir ini, lelaki yang padanya aku mempercayakan mimpi-mimpiku, lelaki
yang dengan bangga kukenalkan kepada ibu sebagai calon imamku, lelaki yang
kudambakan kelak menjadi ayah bagi anak-anakku.
“ada apa” rasa ingin tau dan heranku
menjadi satu, kami duduk berhadapan, ia menggenggam tanganku dengan gemetar, kemudian satu persatu
terurai, bermula dari satu kesalahan
bahkan bisa dibilang sebuah ketidak sengajaan.
“kamu tau bara kan? Teman
kuliahku dulu, yang pernah aku kenalkan
ketika kita ke semarang waktu itu, belum lama ini mereka menetap di jakarta”
anton mulai bersuara memecah kehingan yang tiba-tiba hadir di antara kami, meski
merasa heran dan menduga-duga apa yang akan ia bicarakan, aku mengangguk,
menandakan bahwa aku masih mengingat teman yang ia maksut.
“aku
bersama beberapa teman menerima undangan perayaan ulang tahun bara di
rumahnya, hanya perayaan kecil tampa pesta, kami hanya makan dan minum- minum
yang sialnya ada alkohol di dalamnya, aku tidak curiga,meski tubuhku linglung,
kami menghabiskan malam dengan berbagai cerita dan tertawa bahagia...entahlah
aku tidak bisa mengingat smuanya, tidak
juga bisa mengingat seberapa banyak alkohol merusak kerja otak dan tubuhku, aku
tersentak ketika bunyi pintu di dobrak dengan kerasnya, ketika kesadaranku
mulai kembali, aku sudah berada di sebuah kamar dengan adik perempuan bara
menangis disebelahku tampa busana, selanjutnya bisa kamu bayangkan kemarahan keluarga
mereka dan aku harus mempertanggungjawabkan semuanya” Ia berhenti bercerita,
meremas rambutnya dengan tangis tersedu, memukul-mukul kepalanya dengan sangat
keras bahkan nyaris seperti orang gila.
Aku tau ia bersungguh-sungguh, ia sedang tidak
berbohong, sedang tidak main-main dengan pengakuannya, aku juga bisa membaca
sorat mata yang kukenal itu, betapa ia menyesal,
betapa ia ingin aku memaklumi dan mengerti atas semua kondisinya.
Tubuhku kaku, mendadak aku merasa
sesak dan pandanganku mengabur oleh air mata, selanjutnya aku tidak bisa
mendengarkan lagi apa yang ia ucapkan, suranya hanya menyerupai dengungan
lebah, atau kebisingan pasar malam. Sungguh aku tidak tau harus berkata apa,
apakah aku harus menangis sekuat-kuatnya atau marah dan histeri atas semua
kebodohannya, aku tidak tau, yang aku tau duniaku hancur seketika, dunia dan
mimpi yang telah aku bangun bersama.
Semua yang terjadi begitu cepat,
melebihi kecepatan cahaya dalam ilmu fisika yang pernah ku pelajari ketika SMA,
aku tidak bisa menerima, tidak bisa
menerima sesuatu yang berharga di rengut tiba-tiba dari hidupku, cintaku,
mimpi-mimpiku, hatiku, aku tidak bisa memaafkan anton atas semua yang dia
lakukan, meskipun aku tau itu diluar kesadaran. Sungguh aku tidak bisa
*****
Berhari hari setelah itu, jangan
pernah tanya hatiku, aku bahkan lupa cara makan dan tidur, lupa bagaimana harus
menegakkan kepala dan tersenyum, aku benar-benar hancur, meski sudah tak
terhitung lagi berapa kali anton meminta maaf dan menghubungiku, tidak ada
gunanya, tidak bisa diperbaiki lagi, apapun yang terjadi dia harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, dia tidak akan kembali, dan aku
benar-benar mati.
Dan kini meski sudah tak terhitung ratusan
kali kurapal mantra sakti ibu dengan sepenuh hati, berharap keajaiban masa
kecilku hadir kembali, berharap tak ada sakit lagi, berharap aku masih bisa
bermimpi...berkutek berkunang kejijek mak
ngisang peh..peh..peh, dengan mata berlinang kupegang dadaku yang sakit...ahhh
ibu maafkan aku, kali ini mantramu tak mempan untuk hatiku.