Rabu, 11 Januari 2017

'sekekejungni pesiser sememanjangni angangon"



"sepanjang ingatan"
by :Elly Dharmawanti




1.
Tenumbang
Tenumbang
Tenumbang
Tenumbang
Aku kisahkan kembali padamu
Tentang rumah yang muram
Sebab  hangat
Hanya bisa kukenang


2.
Labuhan jukung
Masih juga sempat kau kabarkan
Akan camar yang malas
Pasir yang tak lagi putih
Atau tentang cuaca yang berubah ubah
Bahwa disini
Dilabuhan jukung ini
Ada sebuah kisah
Tentang rindu yang terlalu
Tentang cinta yang menunggu


 
3.
Tanjung setia
Dan
Kisahkanlah lagi sebuah cerita
Tentang tanjung yang setia
Yang ombaknya masih saja
Mengirim buih dan sampah
Juga sesekali kayu dan batu               



4.
Kuala stabas
Sebuah dermaga
Sebuah kuala
Pada sebuah senja
Masih dengan sandal yang sama
 Setia menunggu kabar dari sebuah Bandar
..::pada angin nelayan kembangkan layar


 
5.
Pahmung
Aku mencintai kota ini
Ujarmu pada suatu pagi
Aku tersenyum ,memandangmu menghirup aroma kopi
Lantas tiap kelok kita tandai
..:Dengan mawar  dan belati



6.
“Lelaki pengirim ombak”

Hei  perempuan
Adakah lagi yang kau tunggu
 mematung dibibir pantai
hingga  sesenja itu

aku menunggu sebuah kabar
Yang dibawa ombak”
Jangan gila
Ombak hanya serupa buih
Ia Tak bisa berkirim kabar
Apalagi menulis sebuah pesan




7.
“Perempuan di  bibir pantai”

Hei  lelaki
Kenapa kau biarkan perempuanmu sendiri
Mununggu hingga membatu
Dibibir pantai seterik itu
“bukan,aku bukan sengaja
Membiarkannya membatu
Lantas
Kenapa masih disitu
Hanya memandang dari ketinggian
Gelombang
“agar ia  tau
Betapa ingin aku
Merengkuhnya dalam dekap
Yang paling hangat”



By :elly dharmawanti





“berkutek berkunang/kejijek/mak ngisang/peh peh peh”
*
ibu menyebutnya mantra penyembuh luka,perempuan sederhana  yang  memanjakanku dengan sepenuh jiwa. aku dan ketiga adikku terbiasa dengan dongeng-dongeng yang selalu di dendangkan ibu setiap malamnya  setiap harinya, sebelum beranjak tidur kami akan duduk mengelilingi dan memijat- mijat kaki ibu  yang selalu siap dengan dongeng pengantar tidurnya, bahkan sering tampa sadar kami tertidur  bahkan sebelum dongen selesai di kisahkan.
Ketika kanak-kanak, ibu adalah duniaku, apapun yang ibu katakan kepadaku aku mempercainya sepenuh jiwa,tampa keraguan tampa pikir-pikir, tampa pertimbangan, begitulah seharusnya kanak-kanak di besarkan.


 Begitu juga dengan mantra yang satu ini, ibu selalu melapalkan nya ketika aku dan adik-adikku tertimpa sesuatu, mulai dari jatuh hingga tergores benda tajam,yang menyebabkan kami menangis kesakitan, dengan tulusnya ia akan melapalkan mantra sambil mengusap-usap pada sumber rasa sakit, yang seperti biasa di ujung mantra mulut ibu akan pura-pura meludah dan berucap peh..peh..peh..ajaibnya begitu kata peh terakhir keluar dari bibir ibu jerit tangis dan air mata seketika berhenti, aku tidak merasa sakit lagi, tepatnya aku mengabaikan rasa sakit dan tersenyum melihat kebeningan mata ibu.
 Begitulah, bahkan hingga aku dewasa dan jauh dari dekapan hangat ibu, aku tak pernah lupa dengan mantra penyembuh luka, dengan cara ibu melapalkannya, dengan wajah teduhnya.
Terkadang ketika tak sengaja kakiku terbentur sesuatu, atau tanganku tergores, aku dengan keyakinan penuh melapal diam-diam mantra ibu, kemudian tersenyum dan tertawa melupakan rasa sakitnya


**
“maafkan aku, aku tak bermaksut dengan sengaja menghianatimu, mengingkari janji yang sudah kita sepakati, mengingkari mimpi-mimpi yang sudah kita susun selama ini,sungguh aku tak sengaja, aku juga tidak yakin dengan yang aku lakukan, hanya semuanya begitu cepat, begitu rumit  untuk aku jelaskan” dengan berlinang air mata anton bersimpuh di hadapannku, memohon maaf atas semua yang terjadi ,tubuhnya lelah, kentara sekali dari sorot matanya betapa ia tertekan, betapa penyesalan begitu menyiksanya, betapa ia merasa semuanya hancur tak tersisa. Aku terpaku, tidak bergerak dari posisiku, dadaku sesak seperti hendak meledak, tapi tak ada satu patah katapun yang sanggup keluar dari bibir ku yang bergetar menahan sakit, amarah dan kebencian, air mata tak bisa lagi kutahan, duniaku  seketika hancur, Tidak penting lagi apa yang ia katakan, tidak penting lagi seberapa dalam ia menyesal, tak penting lagi seberapa banyak kata maaf yang ia ucapkan, tidak penting lagi berapa lama waktu yang aku habiskan bersamanya, tidak penting lagi semua hal indah yang pernah aku lalui dengannya, tidak penting lagi semua janji dan kata setia,tidak penting lagi.
hatiku dipenuhi amarah dan kebencian, seketika rasanya ingin aku membunuh lelaki itu, mencabik-cabik tubuhnya dengan tanganku, tapi anehnya bukan itu yang aku lakukan, dengan kaki gemetar dan isak tertahan, tampa bisa kucegah aku melepas tanganku dari genggaman, tubuhku mundur menjauh dari hadapan anton.


***
Bermula dari Jum’at pagi yang mendung, di luar kebiasaan, anton mengirim pesan pendek yang sepertinya penting dan mendesak, ia ingin menemuiku sepulang kerja di suatu tempat yang sudah ia tentukan. Meski sedikit heran dengan pesan yang ia kirimkan aku menyanggupinya, tampa curiga, tampa prasangka.
 Aku melewati hari itu seperti biasa, memeriksa dan menyelesaikan beberapa dokumen, membuat catatan-catatan, ngobrol dan makan siang dengan rekan-rekan, hingga waktu yang di janjikan, dengan langkah ringan aku memasuki pintu mobil, menyalakan musik kesukaan dan tentu saja sesekali turut berdendang.


****
Aku datang terlambat, jalanan macet, begitu tiba di lokasi aku menemui anton di sebuah ruangan dalam sebuah restoran yang asri dan menyejukkan, meski rasa heranku tak bisa kututupi lagi, melihat  ini diluar kebiasaan, aku mengayunkan langkah. Ia ada disitu, duduk terpaku, tubuhnya lunglai dan kusut masai, aku seperti tidak mengenal lelaki itu, lelaki yang sudah mengisi hidupku dua tahun terakhir ini, lelaki yang padanya aku mempercayakan mimpi-mimpiku, lelaki yang dengan bangga kukenalkan kepada ibu sebagai calon imamku, lelaki yang kudambakan kelak menjadi ayah bagi anak-anakku.
“ada apa” rasa ingin tau dan heranku menjadi satu, kami duduk berhadapan, ia menggenggam tanganku  dengan gemetar, kemudian satu persatu terurai, bermula dari satu kesalahan  bahkan bisa dibilang sebuah ketidak sengajaan.
“kamu tau bara kan? Teman kuliahku  dulu, yang pernah aku kenalkan ketika kita ke semarang waktu itu, belum lama ini mereka menetap di jakarta” anton mulai bersuara memecah kehingan yang tiba-tiba hadir di antara kami, meski merasa heran dan menduga-duga apa yang akan ia bicarakan, aku mengangguk, menandakan bahwa aku masih mengingat teman yang ia maksut.
“aku  bersama beberapa teman menerima undangan perayaan ulang tahun bara di rumahnya, hanya perayaan kecil tampa pesta, kami hanya makan dan minum- minum yang sialnya ada alkohol di dalamnya, aku tidak curiga,meski tubuhku linglung, kami menghabiskan malam dengan berbagai cerita dan tertawa bahagia...entahlah aku tidak bisa mengingat smuanya,  tidak juga bisa mengingat seberapa banyak alkohol merusak kerja otak dan tubuhku, aku tersentak ketika bunyi pintu di dobrak dengan kerasnya, ketika kesadaranku mulai kembali, aku sudah berada di sebuah kamar dengan adik perempuan bara menangis disebelahku tampa busana, selanjutnya bisa kamu bayangkan kemarahan keluarga mereka dan aku harus mempertanggungjawabkan semuanya” Ia berhenti bercerita, meremas rambutnya dengan tangis tersedu, memukul-mukul kepalanya dengan sangat keras bahkan nyaris seperti orang gila.

 Aku tau ia bersungguh-sungguh, ia sedang tidak berbohong, sedang tidak main-main dengan pengakuannya, aku juga bisa membaca sorat mata yang kukenal  itu, betapa ia menyesal, betapa ia ingin aku memaklumi dan mengerti atas semua kondisinya.
Tubuhku kaku, mendadak aku merasa sesak dan pandanganku mengabur oleh air mata, selanjutnya aku tidak bisa mendengarkan lagi apa yang ia ucapkan, suranya hanya menyerupai dengungan lebah, atau kebisingan pasar malam. Sungguh aku tidak tau harus berkata apa, apakah aku harus menangis sekuat-kuatnya atau marah dan histeri atas semua kebodohannya, aku tidak tau, yang aku tau duniaku hancur seketika, dunia dan mimpi yang telah aku bangun bersama.
Semua yang terjadi begitu cepat, melebihi kecepatan cahaya dalam ilmu fisika yang pernah ku pelajari ketika SMA, aku tidak bisa menerima,  tidak bisa menerima sesuatu yang berharga di rengut tiba-tiba dari hidupku, cintaku, mimpi-mimpiku, hatiku, aku tidak bisa memaafkan anton atas semua yang dia lakukan, meskipun aku tau itu diluar kesadaran. Sungguh aku tidak bisa


*****
Berhari hari setelah itu, jangan pernah tanya hatiku, aku bahkan lupa cara makan dan tidur, lupa bagaimana harus menegakkan kepala dan tersenyum, aku benar-benar hancur, meski sudah tak terhitung lagi berapa kali anton meminta maaf dan menghubungiku, tidak ada gunanya, tidak bisa diperbaiki lagi, apapun yang terjadi dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, dia tidak akan kembali, dan aku benar-benar mati.

Dan kini meski sudah tak terhitung ratusan kali kurapal mantra sakti ibu dengan sepenuh hati, berharap keajaiban masa kecilku hadir kembali, berharap tak ada sakit lagi, berharap aku masih bisa bermimpi...berkutek berkunang kejijek mak ngisang peh..peh..peh, dengan mata berlinang kupegang dadaku yang sakit...ahhh ibu maafkan aku, kali ini mantramu tak mempan untuk hatiku.


"sincia di mata mei"



Sincia dimata Mei
By : elly dharmawanti


“meski harimu penuh darah dan air mata, tak boleh ada duka di hari sincia”
*
Sincia telah tiba,seperti biasa ada kemeriahan dimana-mana di  rumah-rumah,mall-mall atau bahkan dipelosok desa dan benua lain, entahlah mungkin ini hanya tradisi  bagi keluarga atau tepatnya perayaan, ungkapan rasa syukur kepada semesta atas apa yang telah kami capai di tahun sebelumnya pun berisi doa dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik  pada tahun berikutnya.
Bagi mereka terutama kanak-kanak sincia selalu istimewa,penuh tawa,makanan manis nan lezat,baju baru,saku penuh angpao,nyala lampion dan kemeriahan pertunjukan barongsai, sungguh tak ada duka,begitulah seharusnya,tapi tidak bagiku dan  Mei,gadis kecil berambut coklat dengan lesung pipit di kedua pipi putihnya.
Meski dalam keriuhan  perayaan sincia, aku tau apa yang dilapalkan mulut mungilnya setiap berada didepan altar keluarga setiap harinya,setiap tahunnya, tepatnya lima tahun belakangan ini,hingga aku hapal kalimat pembuka ketika ia berdo’a
Mei gadis kecilku yang baik, aku tau pasti itu, ia tak ingin membuat smua orang mengkhawatirkannya, ia bahkan tidak ingin membuat keributan sekecil apapun ,bahkan sekedar membantah kalimat yang aku ucapkan,tidak pernah, ia gadis yang penurut,menyimpan duka di setiap tatap matanya,aku tau itu,aku sadar itu.


**
Tiga minggu menjelang sincia biasanya Mei sudah rewel pun heboh mempersiapkan baju baru yang akan ia kenakan nanti,berikut pita rambut dan alas kaki,serba merah tentunya.ahh gadis kecil itu slalu terpesona dengan kemeriah sincia,dia akan berlari menyusuri tiap sudut mall atau pasar trasional mencari pernak-pernik  berlambang sio, coklat, jely, permen dan  tentu saja aneka kue lain  disertai ceracauan bibir mungil yang seolah tak ada letihnya. Belum lagi ketika sincia tinggal hitungan hari,oh sungguh ia akan mejelma jadi gadis  yang super sibuk di dalam rumah, semua harus bersih dan rapi,tak boleh ada laba-laba  bersarang bahkan di sudut paling tersembunyi sekalipun.
Dan ketika harinya tiba, jangan tanya betapa riang gembiranya ia,betapa cantiknya dengan balutan gaun dan pita merah menghiasi rambut panjangnya. Dengan senyum lebar dan binar bahagia ia akan soja kehadapan seluruh anggota keluarga yang lebih tua. kemudian ia dan para teman sebaya keliling mengunjungi rumah demi rumah soja kepada penghuninya yang dengan senang hati akan menyiapakn angpou ke genggaman tangan-tangan mungil mereka disertai do’a agar slalu diberkati semesta.
Kesibukan masih berlanjut bahkan hingga menjelang tidur, gadis kecil itu kembali disibukkan dengan angpao yang ia dapatkan,ia akan mengingat siapa saja mereka yang telah menyelipkan amplop merah tersebut ke tangan mungilnya,menghitung jumlah hingga menyusun rencana akan digunakan untuk apa. duuuhh sungguh ia lambang semangat yang sempurna, sebelum bencana itu tiba, bencana yang menghancurkan mimpi indahnya,semangatnya juga binar indah dimatanya bukan hanya ketika sincia tiba,tapi selamanya ya selamanya.
***
“ma,maafkan papa,baru bisa pulang menjelang malam perayaan sincia,ada yang harus papa selesaikan dulu sebelumnya” percakapan telpon dua hari menjelang sincia.
”papa akan tiba dirumah satu jam sebelum kita makan bersama,papa janji” lelaki itu berusaha menyakinkan putrinya yang merajuk meminta ia segera kembali.
Pekerjaan mengharuskan aku dan Mei terpisah dari papanya,kami hanya bisa berkumpul seminggu sekali,kecuali ketika sincia tiba,ia akan cuti untuk beberapa hari,tapi tidak kali ini.
Meski sedikit merjuk Mei tetap semangat menyiapkan segala sesuatunya,barangkali karena ia yakin papanya akan segera kembali,bahkan ketika jam makan bersama sudah lama berlalu ia masih setia menunggu di depan pintu, berharap  yang membuka pagar adalah lelaki itu.
**** 
Berawal dari sebuah berita, seketika dunia runtuh  diatas kepalaku juga Mei, tak ada keluarga,teman atau siapapun juga yang bisa menghibur kami bahkan sekedar menenangkan pun tak ada yang bisa, semua larut dalam keputusasaan  dan duka.
Lelaki berpakaian jas lengkap itu datang di pagi hari sincia, ia memperkenalkan diri sebagai utusan salah satu maskapai penerbangan nasional,  meski sempat heran dengan kedatangan orang asing tersebut aku masih bisa menahan diri untuk tidak banyak bertanya sebelum ia menyampaikan alasan kehadirannya di rumah ini.
Lelaki itu datang dengan berita tentang kecelakaan pesawat malam tadi dan sampai saat ini posisi pesawat,seluruh penumpang dan kru belum di ketahui keberadaannya,selanjutnya aku tidak tau apalagi yang ia jelaskan,pandanganku mulai buram kakiku pun tidak kuat lagi menahan tubuhku yang mendadak kehilangan tenaga, aku pingsan seketika.
Hari berlalu tampa harapan,entah menyenangkan atau menyedihkan,tapi aku tau mei selalu berharap papanya bisa di temukan dalam kondisi apapun “setidaknya masih ada guci papa di altar keluarga ma” itu yang sering ia ratapkan.

*****
“meski harimu penuh darah dan air mata,  tak boleh ada duka di hari sincia” ini pesan yang sering didongenkan oleh para sesepuh tua, turun temurun,karenanya setiap sincia tiba aku dan mei slalu menyembunyikan air mata,meski aku slalu tau do’a yang ia lapalkan tiap harinya,tiap tahunnya “tuhan tolong kembalikan papa”