Selasa, 29 Oktober 2019



“mengunjungi ibu”
By : elly dharmawanti

*
Sepagi ini handphone ku sudah berbunyi berisik sekali, aku masih meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka teddy berwarna coklat pemberian nenek bertahun tahun yang lalu ketika aku masih memakai seragam putih biru. dengan meraba  meja samping tempat tidur, aku berusaha meraih benda berisik itu, setengah mengantuk menggeser tombol biru di layar, memberi salam dan mendengar suara ayah di seberang sana, ayah berbicara dengan nada berat dan sangat hati-hati mengabarkan kematian ibu dengan detil, termasuk juga tentang wasiat ibu sebelum ajal menjemput yang disampaikan oleh sahabat baik ibu. Ekspresiku biasa saja, aku bahkan tidak tau harus berkata apa mendengar penjelasan ayah, aku tidak tau apa aku sedih, kehilangan atau semacam perasaan lainnya. Aku  bahkan  gagap menjawab iya atas permintaan ayah untuk datang menghadiri pemakaman ibu dan melaksanakan wasiat terakhirnya.

**
menurut cerita yang kudengar, ibu dan ayah menikah tampa restu keluarga keduanya,itulah sebabnya mereka menikah diwakilkan oleh wali nikah dari kantor urusan agama di kota tempat mereka menyelesaikan pendidikan pascasarjananya, aku lahir setahun setelah mereka menikah. Delapan tahun kemudian mereka bercerai. Pada awalnya hak asuh jatuh ketangan ibu, akan tetapi karena kelalaian ibu dalam merawatku, hak asuh jatuh ke tangan ayah, begitulah versi yang sering aku dengar dari nenek.

 ayah pulang dan meniti karir sebagai dosen di universitas ternama di pulau sumatra, sementara ibu masih menetap di kota tempat pertama mereka bertemu hingga akhir hayatnya. aku tidak tau pasti sebab perceraian mereka, banyak cerita yang kudengar dari anggota keluarga, terutama nenek yang menggantikan peran ibu bagiku, tapi tidak satupun yang keluar dari mulut ayah bahkan sampai saat ini. 

***
ibu, tidak ada yang bisa ku ingat tentang perempuan yang telah membuatku hadir di dunia ini, aku bahkan tidak menyimpan fotonya, tidak mengingat wajah atau  membayangkan dan sekedar menerka  nerka aroma parfum dari tubuhnya, apakah beraroma mawar atau kayu manis. Sama sekali tidak ada, jadi kurasa adalah wajar bila aku tidak merasa kehilangan atas kepergiannya, karena toh sejauh ini aku sudah kehilangan.

Dari usia sembilan tahun, aku diasuh oleh kakek dan nenek di kota kelahiran ayah,  sementara pasca perpisahan dengan ibu, ayah menikah lagi dengan mama ika, perempuan sederhana dan hangat yang telah memberiku dua orang adik lelaki yang baik, mereka memutuskan menetap dan berkarir di kota kelahiran mama ika. Meskipun ayah telah menikah lagi, sampai sekolah menengah atas aku masih tinggal bersama kakek dan nenek, melanjutkan sekolah di kota kelahiran ayah, meski ayah dan mama ika, berulang ulang membujukku untuk tinggal dan menetap bersama mereka, aku menolak.  Dan setelah lulus menengah atas, aku memilih melanjutkan pendidikan di kota lain yang jauh dari ayah, bagiku ini cukup adil, setidaknya aku tidak menyakiti siapa siapa atas keputusanku ini, tidak nenek dan kakek juga ayah dan mama ika. Toh sesekali aku bisa bergantian mengunjungi mereka. Tentu saja akun tidak berterus terang kepada mereka tentang alasanku memilih kota lain sebagai pilihan, tampaknya mereka cukup puas dengan alasan yang aku kemukakan.

****
Hanya butuh waktu kurang lebih dua jam untuk mempersiapkan keberangkatan menuju jogjakarta kota dimana ibu menetap seorang diri, menghabiskan masa tua tanpa siapa-siapa, bahkan disaat terakhir ibu hanya di temani tante eni sahabat baik ibu, begitulah yang diceritakan ayah sekilas di telepon tadi. Sebenarnya ayah sangat ingin menghadiri pemakaman ibu, tapi  mengingat kondisi kesehatnnya juga memburuk, maka saya melarang ayah pergi dan berat hati meyakinkan beliau bahwa saya bisa mengurus semuanya dengan baik.

Aku memasuki pintu bandara dengan perasaan enggan, berbekal petunjuk dan foto tante eni sahabat ibu yang menungguku di sana, aku melangkah melewati semua pemeriksaan rutin bagi para penumpang.

Dalam pesawat pikiranku disibukkan dengan bermacam urusan kantor yang terpaksa aku tunda, juga bermacam rencana diakhir pekan yang gagal, aku tertidur tanpa sedikitpun menduga duga apa yang akan terjadi setibanya aku disana.




******
Hari masih belum terlalu sore ketika aku menjejakkan kaki di kota tempat ibu tinggal, aku pikir rumah ibu berada di pusat  kota dengan akses transportasi yang memadai, ternyata aku salah, tante eni masih menuntunku melewati beberapa terminal bus antar kota, dengan tubuh letih aku menurut saja tanpa banyak tanya.

Lewat jam sepuluh malam kami baru tiba di sebuah kota kecil yang cukup ramai, dua orang lelaki dengan motor trail sudah menunggu kedatangan kami, tante eni memberi isyarat agar aku menaiki motor yang berwarna hitam dengan pengemudi yang tanpaknya masih seumuran denganku, sementara ia sendiri langsung duduk dengan tenang di belakang pengemudi  satunya.

Selama lebih kurang setengah jam, tubuhku berada di boncengan motor, tanpa suara hanya dengung mesin yang memcahkan telinga, akhirnya kami tiba di halaman rumah kayu khas jawa yang cukup besar, dengan pekarangan yang ditumbuhi aneka tanaman buah dan pot-pot bunga. Meski rumah ini terlihat senyap tapi aku yakin  didalam  banyak penghuninya  yang masih terjaga, entah mengapa hatiku tiba-tiba bergetar, aku merasakan sesuatu yang tidak bisa aku ungkapkan. “ayo masuk, ibumu menunggu di dalam” tante eni berbicara dengan datar, seolah ibu masih bernyawa ia menarik tanganku dengan lembut menuju pintu. Kakiku terasa kaku dan berat, aku tidak tau apa yang menungguku di dalam rumah itu, aku mendadak gugup, rasanya asing sekali, perempuan yang bahkan menyebutkannya ibu pun aku enggan, tiba-tiba terbujur dihadapanku, dalam balutan kain batik dan muka pias tak lagi bernafas. Aku bersimpuh disamping jazadnya, mencoba mencari jejak di mukanya yang pucat, entah kenapa aku merasa sangat tidak berdaya, air mata menitik tanpa aku duga, aku menangis tertahan, tak ada yang bersuara, sekeliling menjadi senyap, termasuk semua orang yang tadi kutemui menemani jazad ibu terbaring dengan lantunan do’a – do’a.

*******
Selesai pemakaman ibu, aku masih saja bersimpuh di tanah basah, masih ingin berlama-lama merasakan hangat yang meresap dalam jiwaku,  semua kerabat dan tetangga sudah meninggalkan lokasi pemakaman, kecuali abas, anak satu-satunya tante eni, lelaki yang tempo hari memboncengku dengan motornya menuju rumah ibu, ia dengan sabar menemaniku tanpa sepatah kata pun.
Hari beranjak siang, aku dan abas menyusuri jalan setapak menuju rumah, masih dalam diam, melewati beberapa petak sawah yang nyaris panen dan burung-burung yang berterbangan.
“ibumu wanita tangguh, seisi kampung ini mengenalnya, bahkan kampung-kampung tetangga juga, ia wanita hebat yang penolong” abas memulai percapakan yang membuatku sedikit kaget,aku menoleh kearahnya dan tersenyum. Kemudian potongan demi potongan tentang ibu kudengar mengalir dari bibirnya, aku merasakan tak ada kebohongan disana, hatiku mendadak hangat.

Sampai di rumah, beberapa kerabat masih sibuk menyiapkan acara tahlilal kepulangan ibu, tante eni mengajakku memasuki sebuah kamar yang kuduga adalah kamar ibu, ia membuka lemari besar dengan ukiran naga disudut kamar, mengeluarkan kotak kayu yang cukup berat, ia mengajakku mendekat dan mengeluarkan isinya berupa surat-surat dalam amplop putih dengan sebuah alamat, ia menyodorkan semuanya padaku, penasaran aku membuka dan membaca salah satunya. Mataku tiba-tiba terbelak, astaga surat-surat ini ditujukan kepadaku pas dihari ulang tahunku dengan tulisan dan isi yang sama “ibu mencintaimu lebih dari apapun”  di tambah dengan ukiran simbol hati. air mataku menetes.
 “ ibumu selalu menulis surat pada hari kelahiranmu, tapi tidak ada satupun yang ia kirimkan” ujar tante eni.
“kenapa” aku bertanya sambil terisak
“entahlah, ia tidak pernah memberitahu alasannya”
Masih ada beberapa dokumen lainnya yang tante eni serahkan kepadaku sesuai wasiat ibu,termasuk juga beberapa warisan berupa tanah, kebun, deposito yang angkanya membuatku terbelak tak percaya  dan rumah yang ibu tinggali selama ini “ibumu ingin kamu yang merawat rumah ini” tante eni memberi penjelasan setelah semua isi kotak kayu itu berpindah tangan.
 “satu hal lagi andini, ibu mu ingin kamu lebih sering mengunjungi makamnya” tante eni memegang pundakku keluar meninggalkan aku sendirian di kamar.

********
Dengan semua warisan peninggalan ibu yang jumlahnya cukup besar aku tidak tau harus melakukan apa,aku masih duduk dikamar , memikirkan akan melakukan apa yang membuat ibu tersenyum bahagia di alam sana, setidaknya beberapa hari kedepan aku masih akan menetap disini, merasakan kehadiran ibu, mengenal ibu kembali, menyusun ingatan-ingatan yang tertinggal.
 aku meraih ponselku, menekan nomor ayah dan berbicara “aku memutuskan menetap lebih lama lagi disini”  kemudian mematikan ponselku dengan bahagia.