“mengunjungi ibu”
By : elly dharmawanti
*
Sepagi ini handphone ku sudah berbunyi
berisik sekali, aku masih meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka teddy
berwarna coklat pemberian nenek bertahun tahun yang lalu ketika aku masih
memakai seragam putih biru. dengan meraba meja samping tempat tidur, aku berusaha meraih
benda berisik itu, setengah mengantuk menggeser tombol biru di layar, memberi
salam dan mendengar suara ayah di seberang sana, ayah berbicara dengan nada
berat dan sangat hati-hati mengabarkan kematian ibu dengan detil, termasuk juga
tentang wasiat ibu sebelum ajal menjemput yang disampaikan oleh sahabat baik
ibu. Ekspresiku biasa saja, aku bahkan tidak tau harus berkata apa mendengar
penjelasan ayah, aku tidak tau apa aku sedih, kehilangan atau semacam perasaan
lainnya. Aku bahkan gagap menjawab iya atas permintaan ayah untuk
datang menghadiri pemakaman ibu dan melaksanakan wasiat terakhirnya.
**
menurut cerita yang kudengar, ibu dan ayah
menikah tampa restu keluarga keduanya,itulah sebabnya mereka menikah diwakilkan
oleh wali nikah dari kantor urusan agama di kota tempat mereka menyelesaikan
pendidikan pascasarjananya, aku lahir setahun setelah mereka menikah. Delapan tahun
kemudian mereka bercerai. Pada awalnya hak asuh jatuh ketangan ibu, akan tetapi
karena kelalaian ibu dalam merawatku, hak asuh jatuh ke tangan ayah, begitulah
versi yang sering aku dengar dari nenek.
ayah
pulang dan meniti karir sebagai dosen di universitas ternama di pulau sumatra,
sementara ibu masih menetap di kota tempat pertama mereka bertemu hingga akhir
hayatnya. aku tidak tau pasti sebab perceraian mereka, banyak cerita yang
kudengar dari anggota keluarga, terutama nenek yang menggantikan peran ibu
bagiku, tapi tidak satupun yang keluar dari mulut ayah bahkan sampai saat ini.
***
ibu, tidak ada yang bisa ku ingat tentang
perempuan yang telah membuatku hadir di dunia ini, aku bahkan tidak menyimpan
fotonya, tidak mengingat wajah atau
membayangkan dan sekedar menerka
nerka aroma parfum dari tubuhnya, apakah beraroma mawar atau kayu manis.
Sama sekali tidak ada, jadi kurasa adalah wajar bila aku tidak merasa
kehilangan atas kepergiannya, karena toh sejauh ini aku sudah kehilangan.
Dari usia sembilan tahun, aku diasuh oleh
kakek dan nenek di kota kelahiran ayah, sementara pasca perpisahan dengan ibu, ayah
menikah lagi dengan mama ika, perempuan sederhana dan hangat yang telah
memberiku dua orang adik lelaki yang baik, mereka memutuskan menetap dan
berkarir di kota kelahiran mama ika. Meskipun ayah telah menikah lagi, sampai
sekolah menengah atas aku masih tinggal bersama kakek dan nenek, melanjutkan
sekolah di kota kelahiran ayah, meski ayah dan mama ika, berulang ulang
membujukku untuk tinggal dan menetap bersama mereka, aku menolak. Dan setelah lulus menengah atas, aku memilih
melanjutkan pendidikan di kota lain yang jauh dari ayah, bagiku ini cukup adil,
setidaknya aku tidak menyakiti siapa siapa atas keputusanku ini, tidak nenek
dan kakek juga ayah dan mama ika. Toh sesekali aku bisa bergantian mengunjungi
mereka. Tentu saja akun tidak berterus terang kepada mereka tentang alasanku
memilih kota lain sebagai pilihan, tampaknya mereka cukup puas dengan alasan
yang aku kemukakan.
****
Hanya butuh waktu kurang lebih dua jam untuk
mempersiapkan keberangkatan menuju jogjakarta kota dimana ibu menetap seorang
diri, menghabiskan masa tua tanpa siapa-siapa, bahkan disaat terakhir ibu hanya
di temani tante eni sahabat baik ibu, begitulah yang diceritakan ayah sekilas
di telepon tadi. Sebenarnya ayah sangat ingin menghadiri pemakaman ibu, tapi mengingat kondisi kesehatnnya juga memburuk,
maka saya melarang ayah pergi dan berat hati meyakinkan beliau bahwa saya bisa
mengurus semuanya dengan baik.
Aku memasuki pintu bandara dengan perasaan
enggan, berbekal petunjuk dan foto tante eni sahabat ibu yang menungguku di
sana, aku melangkah melewati semua pemeriksaan rutin bagi para penumpang.
Dalam pesawat pikiranku disibukkan dengan
bermacam urusan kantor yang terpaksa aku tunda, juga bermacam rencana diakhir
pekan yang gagal, aku tertidur tanpa sedikitpun menduga duga apa yang akan
terjadi setibanya aku disana.
******
Hari masih belum terlalu sore ketika aku
menjejakkan kaki di kota tempat ibu tinggal, aku pikir rumah ibu berada di
pusat kota dengan akses transportasi
yang memadai, ternyata aku salah, tante eni masih menuntunku melewati beberapa
terminal bus antar kota, dengan tubuh letih aku menurut saja tanpa banyak
tanya.
Lewat jam sepuluh malam kami baru tiba di
sebuah kota kecil yang cukup ramai, dua orang lelaki dengan motor trail sudah
menunggu kedatangan kami, tante eni memberi isyarat agar aku menaiki motor yang
berwarna hitam dengan pengemudi yang tanpaknya masih seumuran denganku,
sementara ia sendiri langsung duduk dengan tenang di belakang pengemudi satunya.
Selama lebih kurang setengah jam, tubuhku
berada di boncengan motor, tanpa suara hanya dengung mesin yang memcahkan
telinga, akhirnya kami tiba di halaman rumah kayu khas jawa yang cukup besar,
dengan pekarangan yang ditumbuhi aneka tanaman buah dan pot-pot bunga. Meski
rumah ini terlihat senyap tapi aku yakin
didalam banyak penghuninya yang masih terjaga, entah mengapa hatiku
tiba-tiba bergetar, aku merasakan sesuatu yang tidak bisa aku ungkapkan. “ayo
masuk, ibumu menunggu di dalam” tante eni berbicara dengan datar, seolah ibu
masih bernyawa ia menarik tanganku dengan lembut menuju pintu. Kakiku terasa
kaku dan berat, aku tidak tau apa yang menungguku di dalam rumah itu, aku
mendadak gugup, rasanya asing sekali, perempuan yang bahkan menyebutkannya ibu
pun aku enggan, tiba-tiba terbujur dihadapanku, dalam balutan kain batik dan
muka pias tak lagi bernafas. Aku bersimpuh disamping jazadnya, mencoba mencari
jejak di mukanya yang pucat, entah kenapa aku merasa sangat tidak berdaya, air
mata menitik tanpa aku duga, aku menangis tertahan, tak ada yang bersuara,
sekeliling menjadi senyap, termasuk semua orang yang tadi kutemui menemani
jazad ibu terbaring dengan lantunan do’a – do’a.
*******
Selesai pemakaman ibu, aku masih saja
bersimpuh di tanah basah, masih ingin berlama-lama merasakan hangat yang
meresap dalam jiwaku, semua kerabat dan
tetangga sudah meninggalkan lokasi pemakaman, kecuali abas, anak satu-satunya
tante eni, lelaki yang tempo hari memboncengku dengan motornya menuju rumah
ibu, ia dengan sabar menemaniku tanpa sepatah kata pun.
Hari beranjak siang, aku dan abas menyusuri
jalan setapak menuju rumah, masih dalam diam, melewati beberapa petak sawah
yang nyaris panen dan burung-burung yang berterbangan.
“ibumu wanita tangguh, seisi kampung ini
mengenalnya, bahkan kampung-kampung tetangga juga, ia wanita hebat yang
penolong” abas memulai percapakan yang membuatku sedikit kaget,aku menoleh
kearahnya dan tersenyum. Kemudian potongan demi potongan tentang ibu kudengar
mengalir dari bibirnya, aku merasakan tak ada kebohongan disana, hatiku
mendadak hangat.
Sampai di rumah, beberapa kerabat masih sibuk
menyiapkan acara tahlilal kepulangan ibu, tante eni mengajakku memasuki sebuah
kamar yang kuduga adalah kamar ibu, ia membuka lemari besar dengan ukiran naga
disudut kamar, mengeluarkan kotak kayu yang cukup berat, ia mengajakku mendekat
dan mengeluarkan isinya berupa surat-surat dalam amplop putih dengan sebuah
alamat, ia menyodorkan semuanya padaku, penasaran aku membuka dan membaca salah
satunya. Mataku tiba-tiba terbelak, astaga surat-surat ini ditujukan kepadaku
pas dihari ulang tahunku dengan tulisan dan isi yang sama “ibu mencintaimu
lebih dari apapun” di tambah dengan
ukiran simbol hati. air mataku menetes.
“
ibumu selalu menulis surat pada hari kelahiranmu, tapi tidak ada satupun yang
ia kirimkan” ujar tante eni.
“kenapa” aku bertanya sambil terisak
“entahlah, ia tidak pernah memberitahu
alasannya”
Masih ada beberapa dokumen lainnya yang tante
eni serahkan kepadaku sesuai wasiat ibu,termasuk juga beberapa warisan berupa
tanah, kebun, deposito yang angkanya membuatku terbelak tak percaya dan rumah yang ibu tinggali selama ini “ibumu
ingin kamu yang merawat rumah ini” tante eni memberi penjelasan setelah semua
isi kotak kayu itu berpindah tangan.
“satu
hal lagi andini, ibu mu ingin kamu lebih sering mengunjungi makamnya” tante eni
memegang pundakku keluar meninggalkan aku sendirian di kamar.
********
Dengan semua warisan peninggalan ibu yang
jumlahnya cukup besar aku tidak tau harus melakukan apa,aku masih duduk dikamar
, memikirkan akan melakukan apa yang membuat ibu tersenyum bahagia di alam
sana, setidaknya beberapa hari kedepan aku masih akan menetap disini, merasakan
kehadiran ibu, mengenal ibu kembali, menyusun ingatan-ingatan yang tertinggal.
aku
meraih ponselku, menekan nomor ayah dan berbicara “aku memutuskan menetap lebih
lama lagi disini” kemudian mematikan
ponselku dengan bahagia.